Sewa Mobil di Jogja: Memiliki Kisah Istimewa di Balik Traveling
Sewa mobil di Jogja berasa istimewa seistimewa kotanya. Kita yang pernah sewa mobil di Jogja pasti merasa rindu dan ingin mengulangi transaksi tersebut. Mengapa demikian? Sewa mobil di Jogja tarifnya sangat murah dibandingkan dengan berbagai kota lainnya di Indonesia. Selain itu, kualitas yang ditawarkan juga tidak ada duanya.
Sewa mobil di Jogja yang harga miring dan kualitas terjamin hanya bisa didapatkan di Alif Transport. Perusahaan ini berada di Jalan Kaliurang KM 5,2 D3A Karangwuni, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kita yang menginginkan sewa mobil di Jogja dan bermukim di sekitar alamat tersebut hendaknya segera meluncur ke lokasi.
Sewa mobil di Jogja kali ini akan menemani kita dengan kisah baru. Kisah itu tetap berasal dari naskah drama. Kisah ini disajikan untuk menghilangkan kejenuhan saat antre memesan mobil idaman di perusahaan ini. Penasaran dengan kisah tersebut? Kisah itu berasal dari naskah drama berjudul Pelacur dan Sang Presiden. Karya ini ditulis oleh Ratna Sarumpaet. Sebelum kita menikmati alur kisahnya, sewa mobil di Jogja akan menyajikan latar belakang kisahnya.
Latar Belakang Cerita
Pelacuran adalah salah satu budaya tertua umat manusia. Ia bagian tak terlepaskan dari naluri manusia yang memiliki sisi gelap seperti ketamakan, kemunafikan, yang mustahil bisa dihapus secara keseluruhan.
Pelacur dikecam sebagai sampah masyarakat. Perusak moral. Pencari nafkah dengan cara tidak bermoral …. “Nafsu birahi lelaki jauh lebih besar” adalah sebuah pemakluman perbedaan gender umum pada masyarakat. Pemakluman ini membuat perempuan selalu diposisikan sebagai yang bersalah setiap kali kasus amoral jenis ini mengemuka.
Perempuanlah yang dihakimi ketika kasus aborsi terjadi. Tubuh perempuanlah yang harus dibungkus rapat-rapat, untuk mencegah terjadinya pemerkosaan. Pemakluman serupalah juga yang semakin menyudutkan para pelacur pada posisi yang paling disalahkan, yang dianggap paling tidak bermoral.
Masyarakat serta penyelenggara negara yang yang tidak mau membuka matanya untuk melihat apa masalah mendasar ‘pelacuran’, membuat bangsa ini tidak kunjung menemukan jalan mengatasinya dan pelacuran semakin terjerat dalam lingkaran setan antara dosa, kemiskinan, pembodohan, gender dan seterusnya ….
Berpusat pada pemuasan birahi, menguntungkan secara materi hingga meniadakan pertimbangan moral dalam meraih keuntungan, pelacuran menjadi perdagangan yang sangat menggiurkan, sah, menyumbang pajak, sekaligus dicerca, dikejar-kejar dan diludahi orang. Ini terjadi di Indonesia, sebuah Negeri berpenduduk beragama, dan tidak banyak diantara kita yang tahu, menggiurkannya pelacuran sebagai perdagangan, jutaan anak-anak dibawah umur, tidak hanya anak gadis, termasuk anak kandung kita sendiri, dapat sewaktu-waktu menjadi korban.
Bersambung [1]